Wednesday, May 25, 2011

Quo Vadis?


Apakah pengertian anda tentang “kemenangan”? Ketika dua orang samurai bertarung misalnya, pemenangnya pastilah samurai yang masih hidup, dan pecundangnya adalah samurai yang mati karena kalah oleh lawannya. Kisah klasik karya Henryk Sienkiewicz akan menjungkar balikkan pengertian kita tentang kemenangan sekaligus kematian. Quo Vadis adalah sebuah roman yang dibingkai latar belakang sejarah pada tahun 60-an, saat Nero menjadi kaisar kerajaan terbesar yang memimpin dunia : kerajaan Romawi. Adalah seorang bangsawan yang menjadi pejabat militer di kerajaan bernama Marcus Vinicius. Pamannya merupakan salah satu orang terdekat Nero yang sangat mencintai keindahan dan seni bernama Petronius. Segalanya berawal dari keinginan Vinicius untuk mendapatkan seorang gadis yang berasal dari kerajaan kecil bernama Lygia, untuk dijadikan selir di rumahnya. Lygia saat itu tinggal di rumah Aulus, maka Vinicius minta bantuan Petronius untuk merayu Aulus agar mau melepas Lygia.

Lygia adalah seorang gadis saleh yang telah menjadi Kristen. Tahun 60-70 itu memang diperkirakan dalam sejarah sebagai tahun mulai berkembang pesatnya agama Kristen, berkat pengajaran Rasul Petrus dan Paulus, setelah Kristus disalibkan dan bangkit. Roma sendiri pada saat itu sedang dalam kebobrokan moral yang amat parah. Sebagian besar karena kebiasaan Nero yang dipenuhi pesta-pora, kecabulan, dan sadisme menular pada pengikut dan rakyatnya. Petronius seorang pengapresiasi seni, maka sarannya sering didengarkan oleh Nero, terlebih karena gaya bicara Petronius yang “manis” sering melambungkan puji-pujian selangit yang disukai Nero. Karena itu Petronius akhirnya berhasil “memaksa” Lygia keluar dari rumah Aulus. Namun sebelum Vinicius yang berhasrat memiliki Lygia berhasil membawa pulang si gadis, Lygia melarikan diri karena takut kesuciannya ternoda dengan menjadi selir Vinicius. Dalam pengejaran Lygia inilah, kehidupan Vinicius tiba-tiba berbalik 180 derajat.

Ternyata Lygia berlindung pada teman-teman sesama pemeluk Kristen. Di sinilah Vinicius mengalami sendiri hal-hal aneh yang sangat berbeda dengan kebiasaan masyarakat pada saat itu. Salah satunya adalah sikap mengasihi dan mengampuni musuh yang diperlihatkan pelindung Lygia: Ursus dan seorang tabib bernama Glaucus. Alih-alih membunuh atau mencelakainya karena ingin merebut Lygia, mereka justru memperlakukan Vinicius dengan penuh kasih. Namun yang paling mengesan pada Vinicius barangkali adalah kotbah Rasul Petrus pada sebuah pertemuan para orang Kristen. Ini sebuah ajaran baru, dan tiba-tiba hati Vinicius bak dipenuhi oleh gelombang kedamaian. Di hati Vinicius benih baru saja tertabur…

Salah satu bukti nyata perubahan pada diri Vinicius adalah cintanya pada Lygia yang tulus dan murni, menggantikan cinta penuh nafsu yang dulu ia pendam dalam hatinya. Sementara itu kesintingan Nero semakin parah. Nero yang terobsesi menjadi penyair agar disanjung rakyatnya, tiba-tiba muak pada Roma. Keangkuhannya sebagai penguasa dunia mendorongnya untuk membakar habis Roma untuk dibangun kembali sesuai keinginannya. Sejarah memang mencatat kota Roma yang sengaja dibakar atas perintah Nero ini. Dan lihatlah…sang Kaisar naik dan berdiri di atas bukit, bukan untuk menangisi kemalangan rakyatnya, namun justru untuk mengarang sebuah puisi. Sinting!

Rakyat pun mengamuk karena banyak saudara mereka yang meninggal, dan mereka kehilangan rumah serta mata pencarian. Nero yang telah bertindak ceroboh itu pun sadar bahwa kedudukannya akan terancam kalau desas-desus bahwa ia sengaja membakar Roma tersebar luas. Maka ia pun cepat-cepat menimpakan kesalahan kepada orang-orang Kristen, memfitnah bahwa merekalah yang telah membakar kota Roma. Semua orang Kristen lalu ditangkap dan dipenjara, termasuk Lygia, Ursus dan teman-temannya. Berkali-kali Vinicius dibantu oleh Petronius merencanakan pembebasan Lygia dari penjara, namun tanpa hasil. Sementara itu, untuk memuasakan nafsu sadisme dirinya sendiri dan demi menyenangkan hati rakyatnya, Nero merancang pertunjukan penyiksaan orang-orang Kristen di amphitheater. Orang-orang Kristen, laki-laki, perempuan dan bahkan anak-anak digiring ke tengah stadion bak hewan tontonan pada pertunjukan sirkus. Ada yang dibantai oleh para gladiator, ada yang disalibkan, ada yang dibuat obor hidup di taman dengan membakar mereka sementara mereka diikat pada tiang. Ada juga yang dimangsa oleh singa, harimau, serigala dsb yang sengaja dibuat kelaparan selama 2 hari sebelumnya. Herannya, bukannya ngeri dan jijik pada pemusnahan berdarah-darah itu, para penguasa dan rakyat justru bertepuk tangan penuh semangat, seolah pertunjukan itu hanyalah pertunjukan tari-tarian biasa.

Selama hari-hari penyiksaan beradab yang di luar batas kemanusiaan itu, Vinicius tetap berikhtiar untuk dapat membebaskan Lygia. Ia bahkan memohon Rasul Petrus untuk memohonkan keselamatan bagi Lygia dari Tuhan. Anda dapat membayangkan bagaimana perasaan Rasul Petrus pada saat itu. Dengan susah payah ia mengumpulkan satu-persatu jiwa untuk diselamatkan dengan percaya kepada Kristus, namun kini setelah jemaat telah mulai berkembang, saat ia menyangka tugasnya telah usai, mereka semua dimusnahkan dengan cara yang mengenaskan hanya dalam sekejap. Padahal Petrus melakukan semuanya karena amanat dari Kristus sendiri. Bagaimana mungkin kini Ia membiarkan mereka semua musnah? Maka tak heran kalau pada suatu titik tertentu, karena bujukan terus menerus pengikutnya, Rasul Petrus pun setuju untuk melarikan diri dari Roma menuju tempat yang aman. Lalu, dalam perjalanan itu ia tiba-tiba melihat sebuah cahaya menyilaukan menghampirinya di jalan itu. Itu Kristus! Maka bertanyalah Petrus kepadaNya: “Quo Vadis, Domine?” (ke mana Engkau hendak pergi, Tuhan? = where are you going, Lord?). Pertanyaan yang biasa saja mungkin, kalau saja Kristus tidak menjawabnya: “Karena kini kau meninggalkan umatKu, Aku akan pergi ke Roma, untuk disalibkan yang kedua kalinya” (hlm. 513). Sebuah tamparan bagi Petrus yang langsung membalikkan langkahnya kembali ke Roma….

Kita semua seperti Petrus juga. Saat kesulitan datang bertubi-tubi, dan nampaknya tak ada lagi yang dapat kita lakukan, apalagi kalau kengerian tampak mendatangi kita, kita ingin melarikan diri saja. Itu memang kodrat manusia untuk menjauh dari sengsara, mengelakkan diri dari kehancuran. Padahal kematian, apalagi kematian demi Dia, bukanlah kekalahan. Lewat pertanyaan sederhana Quo Vadis?, Petrus mengingatkan kita untuk tetap tegar dalam iman meski semua di sekitar kita telah musnah, kalau itu memang kehendakNya. Bukankah benih itu memang harus jatuh ke tanah dahulu, baru ia akan dapat tumbuh dan berbuah? Kalau memang penderitaan yang menanti kita, kita harus menghadapinya dengan penuh iman, seperti halnya orang-orang Kristen pada saat penyiksaan. Alih-alih menangis ketakutan dan memohon-mohon, pancaran kebahagiaan malah keluar dari sorot mata mereka, karena mereka yakin bahwa kebahagiaan yang sejati, kebahagiaan kekal telah disediakan bagi mereka di RumahNya. Sikap orang-orang Kristen yang pasrah dan berani itulah yang justru membuat rakyat takjub, dan akhirnya semakin banyak yang menjadi Kristen. Kerajaan Romawi akhirnya jatuh (yang kita ketahui juga dalam sejarah), Nero pun akhirnya binasa, namun kerajaan Kristus justru tumbuh makin subur dan bergaung hingga kini. Meski itu harus ditebus dengan kematian banyak orang, termasuk Petrus dan Paulus. Kematian duniawi memang menandakan kekalahan, namun kematian dalam Kristus bukanlah kekalahan, tapi kemenangan. Aku jadi teringat pada cuplikan syair dalam sebuah nyanyian yang setiap tahun dinyanyikan saat Malam Paskah:

“..Ajari pula kami tekun dan tak gentar, bersamaMu berjuang, dan kami pun menang!
Terpuji Kristus Pemenang, lenyaplah maut yang kejam…

Pada akhirnya, benih yang ditaburkan oleh Petrus, Paulus dan semua orang Kristen yang dibantai maupun yang masih hidup akhirnya berbuah, jauh lebih banyak daripada yang disangka-sangka semua orang, seperti halnya benih di dalam hati Vinicius yang akhirnya berbuah iman. Lalu bagaimana dengan cinta Vinicius dan Lygia? Akankah cinta mereka berbuah juga? Dan apakah Kristus mengabulkan doa Vinicius yang telah memberikan hati padaNya, untuk menyelamatkan Lygia? Rasul Petrus telah menyuruhnya tetap memiliki iman dan terus berdoa. Akankah Vinicius melakukannya, atau malah menyerah di tengah jalan? Jawabnya hanya bisa anda temukan di buku ini. Tak banyak dalam hidup kita ada buku yang mampu menggugah hati sekaligus iman kita, buku ini salah satunya!

Judul: Quo Vadis?
Penulis: Henryk Sienkiewicz
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: November 2009
Tebal: 552 hlm

No comments:

Post a Comment

What do you think?